Serang –Globalmediatama.com, Polemik penonaktifan Ibu Dini, salah satu guru di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, mendapat sorotan tajam dari kalangan mahasiswa. Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Provinsi Banten mengecam keras tindakan yang dinilai sebagai bentuk arogansi birokrasi pendidikan dan pelanggaran terhadap asas pemerintahan yang baik.
Kronologi Kasus
Kasus ini bermula ketika Ibu Dini dipanggil ke Dinas Pendidikan Provinsi Banten. Pada hari yang sama, ia langsung menerima surat penonaktifan dari jabatannya tanpa adanya pemeriksaan terlebih dahulu. Padahal, tindakan yang dilakukan oleh Ibu Dini hanyalah menegur siswa yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah—sebuah tindakan yang semestinya mencerminkan tanggung jawab moral seorang pendidik, bukan pelanggaran.
Langgar Asas Hukum dan Administrasi
Menurut PMII Banten, tindakan penonaktifan tersebut melanggar asas legalitas dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, serta PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
“Penonaktifan tanpa berita acara pemeriksaan dan tanpa keputusan resmi dari pejabat berwenang merupakan tindakan cacat hukum dan termasuk kategori maladministrasi,” tegas pernyataan resmi PMII Banten.
Kewenangan yang Disalahgunakan
PMII juga menyoroti bahwa berdasarkan Permendikbud Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah, pemberhentian kepala sekolah harus didahului oleh evaluasi kinerja dan rekomendasi pengawas sekolah. Namun, proses tersebut diabaikan sepenuhnya.
“Langkah mendadak dan sepihak yang dilakukan terhadap Ibu Dini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan,” ungkap mereka.
Kerusakan Moral dan Sosial
Meski kini Ibu Dini telah dikembalikan ke sekolah, PMII menilai bahwa kerusakan moral dan sosial telah terjadi. Nama baiknya terlanjur tercemar, wibawa sebagai guru terkikis, dan publik seolah digiring untuk percaya bahwa ia bersalah.
“Ini adalah bentuk bullying struktural oleh birokrasi pendidikan. Guru bukan pelayan kekuasaan, tetapi penjaga akal sehat bangsa,” kata perwakilan PMII Banten.
Tiga Tuntutan Utama PMII Banten
Dalam pernyataan sikapnya, PMII Banten menyampaikan tiga tuntutan utama:
1. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten diminta segera memberikan klarifikasi publik tertulis mengenai dasar hukum dan mekanisme penonaktifan Ibu Dini.
2. Inspektorat dan Ombudsman RI Perwakilan Banten diminta melakukan investigasi resmi atas dugaan maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat terkait.
3. Rehabilitasi penuh nama baik Ibu Dini, melalui:
Surat resmi pemulihan nama baik;
Pernyataan maaf terbuka dari Dinas Pendidikan;
Dan jaminan tidak adanya intimidasi lanjutan terhadap Ibu Dini maupun guru lain yang menegakkan disiplin.
Ancaman Langkah Hukum
PMII menegaskan akan menempuh langkah hukum jika tuntutan ini tidak direspons dalam waktu 14 hari kalender. Langkah yang akan diambil meliputi laporan resmi ke Ombudsman RI, gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), serta desakan politik ke DPRD Provinsi Banten untuk memeriksa kinerja pejabat terkait. PMII juga menyiapkan opsi aksi demonstrasi jika langkah hukum tidak diindahkan.
Penutup: Seruan Solidaritas
PMII menegaskan bahwa kasus ini bukan sekadar tentang satu guru, tetapi cerminan nasib para pendidik di Indonesia yang kerap menjadi korban kebijakan sewenang-wenang.
“Jika seorang guru yang menegakkan disiplin bisa disingkirkan tanpa dasar hukum, maka yang seharusnya dinonaktifkan bukan gurunya, tetapi nurani pejabatnya,” tegas pernyataan tersebut.
PMII Banten mengajak seluruh cabang PMII, organisasi guru, civitas akademika, dan masyarakat untuk bersolidaritas menuntut keadilan bagi Ibu Dini.
“Pendidikan harus dikelola dengan akal sehat, bukan dengan ketakutan,” pungkasnya.
(*/Red)